TEMPO.CO, Yogyakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika atau BMKG menyatakan puncak musim kemarau terjadi pada Agustus 2019. Akibatnya sebagian besar wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami kekeringan.
Bahkan sebagian wilayah ada yang selama 130 hari tanpa ada hujan. Ada juga yang selama 60 hari tanpa hujan. Ratusan ribu warga terancam kekurangan air bersih.
“Puncak musim kemarau di bulan Agustus. Di wilayah Bantul ada yang 130 hari tanpa ada hujan yaitu di wilayah Dlingo,” kata Kepala Stasiun Klimatologi BMKG Daerah Istimewa Yogyakarta, Reni Kraningtyas, Rabu, 21 Agustus 2019.
Awal musim kemarau terjadi pada dasarian I di bulan April. Yaitu di wilayah Gunung Kidul. Kemarau akan panjang karena diperkirakan musim hujan baru mulai pada November mendatang.
Perlu kewaspadaan dan antisipasi lebih dini dari pemerintah maupun masyarakat untuk mengatasi kekeringan ini. Baik untuk pengadaan air untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk pengairan lahan pertanian.
Kondisi ini tentu akan memiliki dampak lanjutan terhadap kekeringan pertanian dan kekurangan air bersih masyarakat. Selain itu, ancaman gagal panen bagi wilayah-wilayah pertanian tadah hujan semakin tinggi.
Bahkan, di Kabupaten Gunung Kidul, ribuan hektar tanaman pertanian mengalami puso atau gagal panen. Sebanyak 2.770 hektar di sembilan kecamatan di Gunung Kidul dilanda kekeringan.
“Musim hujan diperkirakan mundur satu hingga dua dasarian di bulan November,” kata dia.
ACT (Aksi Cepat Tanggap) sebagai lembaga kemanusiaan membantu masyarakat yang kekurangan. Yaitu dengan mengirim air bersih ke banyak wilayah kekeringan terutama di Gunung Kidul.
Gunungkidul menjadi wilayah yang terlanda kekeringan paling ekstrim. Per bulan Agustus 2019, sedikitnya 134 ribu jiwa di 14 kecamatan di Gunungkidul kekeringan, bahkan sudah sampai pada level kesulitan mendapatkan air bersih.
Kepala Cabang ACT Daerah Istimewa Yogyakarta, Bagus Suryanto menyatakan, kondisi kekeringan ekstrim yang melanda Gunungkidul salah satunya adalah karena faktor musim kemarau yang didukung oleh geografis yang didominasi bebatuan karst (kapur). Sehingga air sulit tertahan di atas tanah. Selain itu belum ditemukannya sumber mata air di beberapa kecamatan juga menjadi sebab air bersih di Gunungkidul menjadi semakin langka.
Selain mengirim air dengan tangki, ACT juga sudah membuat 18 sumur yang airnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat di Gunung Kidul. “Targetnya, satu bulan bisa membuat dua sumur dalam. Satu sumur membutuhkan dana sekitar Rp 50 juta,” kata dia.
Berita lain tentang musim kemarau dan kekeringan, bisa Anda simak di Tempo.co.